BAB
I
KONSEP
MEDIS
A.
Defenisi
Trauma Capitis adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi
otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi
otak diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Trauma Capitis juga dikenal sebagai
cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robekan subtansia alba,
iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik serta edema serebral disekitar
jaringan otak (Batticaca, 2008).
B.
Etiologi
Penyebab cedera kepala
dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul
dan benda tajam benda tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas
(kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan pukulan benda tumpul, sedangkan
benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan cedera lahir. (Rosjidi dan
Nurhidayat, 2008).
C.
Patofisiologi
Oedema serebri local akan terbentuk 30 menit setelah
mendapat trauma dan kemudian oedema akan menyebar, membesar. Oedema otak lebih
banyak melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) di
substansi alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas berturut-turut akan
mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi kompresi
hypoxsic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa
menimbulkan herniasi transtetorial ataupan sereberral yang berakibat fatal.
Kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffuse, banyak neuron yang
rusak dan proses gliosi, sehingga bila penderita tidak meninggal maka bisa
terjadi suatu keadaan yang vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka
matanya tanpa ada daya apapun (akenetic mustim/coma vigil, apallic state,
locked in syndrome).
Akenetik mustim, koma vigil lesi terutama terjadi
pada daerah basal frontal yang bilateral dan/ atau daerah mesensefalon
posterior, locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen motor pathway dan
daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah korteks serebri,
system peredaran darah otak mempunyai system autoregulasi untuk mempertahankan
Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah 40-50 mmHg
untuk mensuplai seluruh daerah otak).
Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka
menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral hipoksia difuss
mengakibatkan kesadaran akan menurun. Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO
menurun, maka akan terjaadi kompensasi (cusing respon) penekanan pada medulla
oblongata, hipoksia pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi
vasokontriksi primer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi, pernafasan
yang lambat dan muntah-muntah. TIK meninggi mengakibatkan hypoxemia
respiratorin alkalosis (PO2 menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi
vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif
terhadap tekanan CO2, maka CBF dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka cushing respon
tidaklah bisa terlalu terjadi. Demikian pula jika penurunan darah sistemik
terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi
dan CBF akan menurun sehingga fungsi serebral terganggu. Selain itu peninggian
TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi pada pusat pusat respirasi dan
pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat dan lemah
serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan
berubah irregular, melambat dan steatorous. Pada cedera otak berat terjadi
gangguan koordinasi diantara pusat pernafasan volunter di korteks dengan pusat
pernafasan automatik di batang otak.
D.
Manifestasi
Klinik
Melihat tingkat keparahan
1. Cedera
kepala ringan (kelompok resiko rendah)
a) Skor
skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif dan orientatif)
b) Tidak
ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
c) Tidak
ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d) Pasien
dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien
dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
f) Tidak
adanya kriteria cedera sedang-berat.
2. Cedera
kepaka sedang (kelompok resiko sedang)
a) Skor
koma Glasgow 9 – 14 (konfusi, letargi, atau stupor)
b) Konkusi
c) Amnesia
pasca trauma
d) Muntah
e) Tanda
kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebrospinal.
f) Kejang
3. Cedera
kepala berat (kelompok resiko berat)
a) Skor
skala koma Glasgow 3 – 8 (koma)
b) Penurunan
derajat kesadaran secara progresif
c) Tanda
neurologis fokal
d) Cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium (Manjoer, 2000)
E.
Komplikasi
1.
Hudak dan Gallo (1996) menjelaskan komplikasi
trauma capitis
a) Edema pulmonal
b) Kejang
c) Kebocoran cairan
serebrospinal. (Rosjidi dan Nurhidayat, 2008).
2.
Markam (1999) kelainan dan komplikasi trauma
capitis
a)
Tekanan intrakranial meninggi
b)
Infeksi
c)
Lesi pada tingkat sel
d)
Epilepsi
e)
Perubahan aliran darah dan metabolisme otak
f)
Kelainan respirasi akut. (Rosjidi dan
Nurhidayat, 2008).
F.
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien
dengan cedera kepala, meliputi hal;hal
di bawah ini:
1. CT-scan (dengan tanpa kontras).
2. MRI.
3. Angiografi
serebral.
4. EEG
berkala.
5. Foto
rontgen, mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur
garis (perdarahan/edeam), fragmen tulang.
6. PET,
mendeteksi aktivitas metabolisme otak.
7. Pemeriksaan
CFS, lumbal fungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subaraknoid.
8. Kadar
elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
intrakranial.
9. Skrining
toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
10. Analisis
gas darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan respirasi,
status respirai yang dapat digambarkan melalui AGD ini adalah oksigenasi da
status asm basa (Muttaqin, 2008).
G.
Penatalaksanaan
1. B1 (Breathing)
Pada
pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka
mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher,
immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, ataupun rotasi, Semua penderita trauma capitis yang tidak sadar harus
dianggap disertai cidera vertebrae cervikal dan pemasangan oksigen dengan masker 8 l/menit
(Mallapasi & Bawardi, 2009).
2.
B
2 (Blood)
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi periksa denyut
nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi
>100x per menit dengan infus cairan
RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena trauma capitis single pada orang dewasa hampir tidak pernah
menimbulkan shock.
3.
B
3 (Brain)
Gangguan
kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat
cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila
perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat
dilakukan pemberian obat-obat untuk mengurangi edema dan pemberian larutan
hipertonis (manitol 20%).
4.
B
4 (Blader)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa
retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi makanya perlu pemasangan
kateter.
5.
B
5 (Bowel)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan mual,
muntah. gangguan menelan dan terganggunya proses eliminasi alvi dapat dilakukan
bedrest, pemberian cairan dekstrose 5 %, aminofusin 18 jam pertama dari kejadian
kecelakaan, 2-3 hari baru diberi makanan lunak.
6.
B
6 (Bone)
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru
dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan
tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan
ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama.(Muttaqin, 2008).
BAB
II
KONSEP
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
Data
yang perlu dikaji pada klien yang mengalami trauma capitis adalah :
a. Aktivitas
atau istirahat
Gejala : Merasa
lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan
kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara berjalan tak tegap,
masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot,
otot spastik.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan
tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, distritmia).
c. Integritas
ego
Gejala : Perubahan
tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas,
mudah tersinggung, delirium, agitas, bingung, depresi dan impulsif.
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia
kandung kemih atau mengalami gangguan fungsi.
e. Makanan
atau cairan
Gejala : Mual,
muntah, dan mengalami perubahan selerah
Tanda : Muntah
(mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinnitus,
kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam
penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang. Fotofobia. Gangguan dan juga
penciuman.
Tanda : Perubahan
kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memori). perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan, seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran. wajah tidak simetris, gangguan lemah, tidak seimbang,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit
kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak
biasa beristirahat, merintih.
h. Pernapasan
Tanda : Perubahan
pola napas (apnea yang diselingi oleh hipervntilasi). Napas berbunyi, strido,
tersedak. Ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
i. Keamanan
Gejala : Trauma
baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,
gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti
“raccoon eye” tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma).
Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam,
gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j. Interaksi
sosial
Tanda : Afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria,
anomia.
k. Penyuluhan
/ pembelajaran
Gejala : Pengguna
alkohol/obat lain, pertimbangan DRG menunjukkan rata-rata lama dirawat : 12
hari
B.
Diagnosa
Keperawatan
1.
Perubahan status jaringan serebral
berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL; edema serebral; dan
penurunan tekanan darah.
2.
Perubahan persepsi sensori berhubungan
dengan perubahan persepsi sensori dan transmisi atau integrasi.
3.
Perubahan proses pikir berhubungan
dengan perubahan fisiologik; konflik psikologis.
4.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan,terapi
pembatasan/kewaspadaan keamanan misalnya tirah baring dan mobolisasi.
5.
Resiko tinggi terhadap pola napas tak
efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau
kognitif dan obstruksi trakeobronkial.
6.
Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan
kerja silia, status cairan tubuh perubahan sistem integritas tertutup.
7.
Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk
mencerna nutrien. Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan.
8.
Perubahan proses keluarga berhubungan
dengan transisi dan krisis situasiosnal, ketidakpastian tentang hasil/harapan.
9.
Kekurangan kebutuhan (kebutuhan belajar)
mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan,
tidak mengetahui informasi/sumber-sumber.
C.
Rencana/Intervensi
Keperawatan
1. Gangguan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL;
edema serebral; dan penurunan tekanan darah.
Kemungkinan
dibuktikan oleh :
a)
Perubahan tingkat kesadaran; kehilangan
memori
b)
Perubahan respons motorik/sensori, gelisah.
c)
Perubahan tanda vital
Tujuan
: Pertahankan tingkat kesadaran
biasa/perbaikan, dan fungsi motorik sensor, Mendemonstrasikan tanda vital
stabil dan tak ada tanda- tanda
peningkatan TIK.
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan
tertentu atau yang menyebabkan/ penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.
2)
Pantau/catat status neurologis secara teratur dan
bandingkan dengan nilai standar (misalnya skala koma glasgow).
3)
Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan
(sadar penuh), membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap
tertutup (koma).
4)
Kaji respon verbal; catat apakah pasien sadar,
orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu baik atau malah bingung.
5)
Kaji respon motorik terhadap perintah yang
sederhana.
6)
Pantau tekanan darah, catat adanya hipertensi
sistolik secara terus menerus dan tekanan nadi yang semakin berat
|
1)
Menentukan pilihan intervensi. Penurunan
tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan
awal mungkin menunjukkan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan
intensif untuk memantau tekanan TIK dan/atau pembedahan.
2)
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
3)
Menentukan tingkat kesadaran
4)
Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan
menunjukkan tingkat kesadaran.
5)
Mengukur kesadaran secara
keseluruhan dan kemampuan untuk berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada pasienyg matanya tertutup sebagai akibat dari trauma atau pasien yang afasia.
6)
Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran
darah otak yang konstan pada saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik
|
2. Perubahan
persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan transmisi
atau integrasi.
Kemungkinan dibutuhkan oleh :
a) Disorientasi
terhadap waktu, tempat, orang.
b) Perubahan
dalam respons terhadap rangsangan.
c) Inkoordinasi
motorik, perubahan dalam postur, ketidakmampuan untuk memberitahu posisi bagian
tubuh.
d) Perubahan
pola komunikasi
Tujuan
: Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi
persepsi, Melakukan perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu, Mendemonstrasikan
perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil.
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Evaluasi/pantau secara teratur perubahan
orientasi, kemampuan berbicara, pernapasan, sensori, dan proses pikir
2)
Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan,
panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak
tubuh
3)
Observasi respon perilaku seperti rasa bermusuhan,
menangis afektif yang tidak sesuai, agitasi halusinasi.
4)
Catat adanya perubahan yang spesifik dalam hal
kemampuan seperti memusatkan kedua mata dengan mengikuti instruksi verbal
yang sederhana dengan jawaban “ya” atau “tidak”, makan sendiri dengan tangan
dominan pasien
5)
Hilangkan suara bising/stimulus yang berlebihan
sesuai kebutuhan
|
1)
Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh
lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi
2)
Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua
sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan
peningkatan atau penurunan sensivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk
menerima respon secara sesuai pada suatu stimulasi
3)
Respon individu mungkin berubah-ubah namun umumnya
seperti emosi yang labil, frustasi, apatis dan muncul tingkah laku impulsif
selama proses penyembuhan dari trauma kepala
4)
Membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami
gangguan dan mengidentifikasi adanya perkembangan terhadap peningkatan fungsi
neurologis
5)
Menurunkan ansietas, respons emosi yang
berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan
|
3. Perubahan
proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologik; konflik psikologis.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
a) Defisit/perubahan
memori jarak jauh, saat ini, yang baru terjadi.
b) Penglihatan
perhatian, perubahan lapang/konsentrasi perhatian.
c) Disorientasi
terhadap waktu, tempat, orang, lingkungan dan kejadian.
d) Kerusakan
kemampuan untuk membuat keputusan, pemecahan masalah, alasan, abstrak, atau
konseptualisasi.
Tujuan
: Mempertahankan/melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya, Mengenali
perubahan berpikir/perilaku, Berpartisipasi dalam aturan terapeutik/penyerapan
kognitif.
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Kaji rentang perhatian, kebingungan, dan catat
tingkat ansietas pasien
2)
Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan
kepribadian/tingkah laku pasien sebelum mengalami trauma dengan respon pasien
sekarang
3)
Pertahankan bantuan yang konsisten oleh staf atau keberadaan
staf sebanyak mungkin
4)
Berikan penjelasan mengenai prosedur-prosedur dan
tekankan kembali penjelasan yang diberikan oleh sejawat lain
5)
Jelaskan pentingnya melakukan pemeriksaan
neurologis secara berulang dan teratur
|
1)
Rentang perhatian/kemampuan untuk berkonsentrasi
mungkin memendek secarba tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi
terhadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses pikir pasien
2)
Masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi,
respon marah, dan berbicara/proses pikir yang kacau. Munculnya halusinasi
atau perubahan pada interpretasi stimulus dapat berkembang tergantung dari
keadaan trauma tersebut.
3)
Memberikan pasien perasaan yang stabil dan mampu
mengontrol situasi.
4)
Kehilangan struktur internal (perubahan dalam
memori, alasan, dan kemampuan untuk membuat konseptual) menimbulkan ketakutan
baik tidak diketahui.
5) Pemahaman
bahwa pengkajian dilakukan secara teratur untuk mencegah/membasmi komplikasi
yang mungkin terjadi dan tidak menimbulkan suatu hal yang dapat serius pada
pasien dapat membantu menurunkan ansietas
|
4. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepssi atau kognitifPenurunan
kekuatan/tahanan, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan misalnya tirah baring
dan immobilisasi
Kemungkinan dibukatikan oleh :
a) Ketidakmampuan
bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilisasi di tempat
tidur, pemindahan, ambulasi.
b) Kerusakan
koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan/ kontrol otot.
Tujuan
: Melakukan/mempertahankan posisi fungsi optimal, dibuktikan oleh tak adanya
kontraktur, footdrop, Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian
tubuh yang sakit dan/atau konpensasi, Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang
memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas, Pertahankan integritas kulit,
kandung kemih dan fungsi usus, Mengenali perubahan berpikir/perilaku, Berpartisipasi
dalam aturan terapeutik/penyerapan kognitif
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara
fungsional pada kerusakan yang terjadi.
2)
Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk
menghindari kerusakan karena tekanan
3)
Pertahankan bantuan yang konsisten oleh staf atau
keberadaan staf sebanyak mungkin
4)
Sokong kepala dan badan, tangan dan lenganm kaki
dan paha ketika pasien berada pada kursi roda.
5)
Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang
gerak.
6)
Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan
dan penggunaan alat mobilisasi
|
1)
Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara
fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2)
Perubahan posisi yang teratur menyebabkan
penyebaran terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh
bagian tubuh.
3)
Penggunaan sepatu tennis, hak tinggi, “space
boots” dan kulit domba “T-bar” dapat membantu mencegah footdrop.
4)
Mempertahankan kenyamanan, keamanan, dan postur
tubuh yang normal dan mencegah/kemungkinan resiko kerusakan kulit pada daerah
kogsigis.
5)
Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi
normal ekstermitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
6)
Proses penyembuhan yang lambat seringkali
menyertai trauma kepala dan pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat
penting dari suatu program pemulihan tersebut.
|
5. Resiko
tinggi terhadap pola napas tak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif dan obstruksi trakeobronkial.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
(Tidak dapat diterapkan; adanya
tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual).
Tujuan : Mempertahankan pola
pernapasan normal/efektif sianosis, dengan GDA dalam batas normal pasien.
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Pantau frekuensi, irama kedalaman pernapasan.
Catat ketidakteraturan pernapasan
2)
Catat kompetensi gag/menelan dan kemampuan pasien
untuk melindungi jalan napas sendiri
3)
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya,
posisi miring sesuai indikasi
4)
Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang
efektif jika pasien sadar
5)
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati,
jangan lebih dari 10 – 15 detik
|
1)
Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/ luasnya
keterlibatan otak.
2)
Kemampuan mobilisasi atau membersihkan sekresi
penting unuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleksi menelan atau batuk
menandakan perlunya jalan napas bantuan atau inkubasi
3)
Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas
4)
Mencegah/menurunkan atelektasis
5)
Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma
atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya
sendiri
|
6. Resiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif, penurunan kerja silia, status cairan tubuh perubahan sistem
integritas tertutup.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
(Tidak dapat diterapkan; adanya
tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual).
Tujuan : Mempertahankan
normotermia, bebas tanda-tanda infeksi Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
bila ada.
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik,
pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
2)
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan
(seperti luka, garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang
infus dan sebagainya), catat karakteristik dari drainase dan adanya
inflamasi).
3)
Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya
demam, menggigil, diaforesis, dan perubahan fungsi mental (penurunan
kesadaran).
4)
Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan
pengeluaran secret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik minum
adekuat.
5)
Berikan perawatan parineal. Pertahankan integritas
dari sistem drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum
adekuat.
6)
Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau
busuk (yang tidak enak).
|
1)
Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
nosokomial.
2)
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya.
3)
Dapat mengindikasian perkembangan sesis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
4)
Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi
paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
5)
Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan
bakteri atau infeksi yang merambah naik.
6)
Sebagai indikator dari perkembangan infeksi pada
saluran kemih yang memerlukan tindakan dengan segera.
|
7. Resiko
tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien, kelemahan otot yang
diperlukan untuk mengunyah, menelan.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
(Tidak dapat diterapkan; adanya
tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual).
Tujuan : Mendemonstrasikan
pemeliharaan/kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan,
batuk, dan mengatasi sekresi.
2)
Auskultasi bising usus, catat adanya
penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.
3)
Timbangberat badan sesuai indikasi
4)
Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien
seperti tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian
makan lewat selang NGT.
5)
Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu
yang sering dan teratur
|
1)
Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis
makanan sehingga pasien harus terlindungi dari aspirasi.
2)
Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada
kasus-kasus cedera kepala, jadi bising usus membantu dalam menentukan respons
untuk makan atau berkembangnya komplikasi, seperti paralitik
ileus.
3) Mengevaluasi
keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
4) Menurunkan
resiko regurgitasi dan/atau terjadinya aspirasi.
5) Meningkatkan
proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan
dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
|
8. Perubahan
proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional,
ketidakpastian tentang hasil/harapan
Kemungkinan dibuktikan oleh :
a)
Kesulitan beradaptasi terhadap perubahan
atau menghadapi pengalaman traumatik secara konstriktif.
b)
Keluarga tidak memenuhi kebutuhan anggotanya.
c)
Kesulitan menerima atau mendapatkan
bantuan dengan tepat
d)
Ketidaktepatan untuk mengekspresikan
atau menerima perasaan dari anggota keluarga
Tujuan
: - Mulai mengekspresikan perasaan
dengan bebas dan tepat
- Mengidentifikasi
sumber-sumber internal dan eksternal
untuk menghadapi situasi.
- Mengarahkan
energi dalam cara yang bertujuan untuk merencanakan resolusi krisis.
- Mendorong
dan memungkinkan anggota yang cedera untuk maju ke arah kemandirian
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Catat bagian-bagian dari unit keluarga, keberadaan
/keterlibatan
sistem pendukung.
2)
Anjurkan keluarga untuk mengemukakan hal-hal yang
menjadi perhatiannya tentang keseriusan kondisi, kemungkinan untuk meninggal,
atau kecacatan (ketidakmampuan).
3)
Dengarkan pasien dengan penuh perhatian selama
pasien mengungkapkan.
4)
Anjurkan untuk mengakui perasaannya. Jangan
menyangkal atau meyakinkan bahwa segala sesuatunya akan beres/baik-baik saja.
5)
Berikan penguatan awal terhadap penjelasan tentang
luasnya trauma, rencana pengobatan, dan prognosisnya.
6)
Tekankan pentingnya untuk selalu menjaga suatu
dialog terbuka secara terus menerus antara anggota keluarga.
|
1)
Menentukan adanya sumber keluarga dan
mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan.
2)
Pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka
dapat menurunkan ansietas dan meningkatkan koping terhadap realitas.
3)
Kegembiraan dapat berubah menjadi
kesedihan/kemarahan akan “kehilangan” dan kebutuhan pertemuan dengan “orang
baru yang mungkin asing bagi keluarga dan bahkan tidak disukai oleh keluarganya.”
4)
Karena hal tersebut tidak mungkin untuk
diperkirakan hasilnya, hal tersebut lebih bermanfaat untuk membantu seseorang
untuk menyatakan perasaannya tentang apa yang sedang terjadi sebagai akibat
dari pemberian keyakinan yang kurang tepat/salah.
5)
Pasien /orang terdekat tidak dapat
menyerap/memahami semua informasi yang disampaikan dan hambatan dapat terjadi
sebagai akibat dari emosi karena trauma.
6)
Memberikan kesempatan untuk mengungkapkan
perasaandalam suasana terbuka.
|
9. Kekurangan
kebutuhan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengetahui informasi/sumber-sumber,
kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
a) Meminta
informasi, pernyatan salah konsepsi
b) Ketidakakuratan
mengikuti instruksi
Tujuan : - Berpartisipasi dalam proses belajar, Mengungkapkan
pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi, Memulai
perubahan gaya hidup baru dan/atau keterlibatan dalam program rehabilitasiMelakukan
prosedur yang diperlukan dengan lancar.
Intervensi
|
Rasional
|
1)
Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari
pasien dan juga keluarganya.
2)
Resiko kembali informasi yang berhubungan dengan
proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
3)
Berikan kembali/berikan penguatan terhadap
pengobatan yang diberikan sekarang
4)
Diskusian rencana untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri
5)
Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal
mengenai aktifitas, obat-obatan, dan faktor-faktor penting lainnya
6)
Identifikasi tanda/gejala adanya faktor resiko
secara individual, seperti kebocoran CSS yang lama, kejang pasca trauma
|
1)
Memungkinkan untuk menyampaikan bahaya yang
didasarkan atas kebutuhan secara individual
2)
Membantu dalam menciptakan harapan yang realitas
dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat in dan kebutuhannya.
3)
Aktivitas, pembatasan, pengobatan/kebutuhan terapi
yang direkomendasikan diberikandisusun atas dasar pendekatan antar disiplin
dan evaluasi amat penting untuk perkembangan pemulihan/pencegahan terhadap
komplikasi.
4)
Berbagai tingkat mungkin perlu direncanakan yang
didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual.
5)
Memberikan penguatan visual dan rujukan setelah
sembuh.
6)
Menganal perkembangannya masalah memberikan
kesempatan untuk mengevaluasi dan intervensi lebih awal untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang serius.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Batticaca, F.B, 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan
Sistem Persarafan, Jakarta. Salemba Medika.
Doenges,
M.E, Moorhouse, M.F, Geissler, A.C, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta. EGC.
Mallapasi, M.N dan
Bawardi,F,
2009. Buku Panduan Basic Trauma Cardiac
Life Support (BTCLS). Makassar : Brigade Siaga
Bencana.
Mansjoer, A, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta :
Media Aesculapius.
Muttaqin, A.
2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba
Medika.
Rosjidi, C.H dan Nurhidayat, S, 2009. Buku Ajar Perawatan
Cedera Kepala & Stroke, Yokyakarta : Ardana Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar