Mengenai Saya

Foto saya
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

Sabtu, 04 Mei 2013

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


BAB I
KONSEP MEDIS

A.    Defenisi
Dahulu disebut juga sebagai hyperplasia prostat jinak (Benigna Prostate Hyperplasia) Istilah hyperplasia sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah hyperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. Prevalensinya meningkat sejalan dengan peningkatan usia pada pria (Arief mansjoer, 2000).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun (Sylvia A. Price, dkk. 1995).
B.     Etiologi
Etiologi belum jelas namun terdapat factor resiko dan hormone androgen. Perubahan mikroskopis pada prostat telah terjadi pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopis berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, angka kejadian sekitar 50%, usia 80 tahun sekitar 80% dan 90% tahun  100% (Arief Mansjoer, 2000).
BPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan. Pria berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya :
1.      Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5 reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2.      Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel.
3.      Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4.      Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
C.    Patofisiologi
BPH adalah perbesaran kronis dari prostat pada usia lanjut yang berkorelasi dengan pertambahan umur. Perubahan yang terjadi berjalan lambat dan perbesaran ini bersifat lunak dan tidak memberikan gangguan yang berarti. Tetapi, dalam banyak hal dengan berbagai faktor pembesaran ini menekan uretra sedemikian rupa sehingga dapat terjadi sumbatan partial. Pendekatan Farmakologis pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
Kelenjar periuretra mengalami hyperplasia pada usia yang secara bertahap bertumbuh dan menekan pada sekeliling jaringan prostat yang normal yang mendorong kelenjar ke depan dan membentuk kapsul.
Akibat tekanan kandung kemih, ureter akan mengalami tekanan dan obstruksi sehingga dapat menyebabkan hidronefrosis. Akibat, piala ginjal akan mengalami distensi dan jaring ginjal akan mengalami atropi. Selanjutnya obstruksi yang terjadi bila berlangsung lama atau mengalami reflux akan menyebabkan terjadinya insufisiensi renal.
Pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi).
Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Arief Mansjoer, 2000).
D.    Manifestasi Klinik
BPH biasanya terjadi secara perlahan-lahan sehingga dalam perkembangannya kadang-kadang tidak dirasakan sebagai gangguan, perlu diketahui bahwa pada usia lanjut akan terjadi peningkatan frekwensi berkemih bila seseorang mengeluh bahwa jumlah kekuatan aliran urine berkurang, namun nampak aliran melemah dan kadang-kadang hanya menetes klien akan merasa puas dalam berkemih.
Pada Benigna prostat hyperplasia (BPH) aliran urine berkurang derasnya, nampak aliran urine melemah dan kadang-kadang hanya menetes. Klien akan merasa kurang puas dalam berkemih. Mungkin pula terdapat darah dalam urine. Akibat pembesaran prostat, akan sangat berbahaya terjadinya obstruksi perkemihan yang komplit dan terjadi retensi.
Kompleks gejala obstruktif dan iriatif (prostatisme) mencakup peningkatan frekuensi berkemih, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik.
Biasanya gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iriatif dan obstruktif. Gejala iriatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria). Sedangkan gejala obstruksi adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesistensy), harus mengedan (straining), kencing terputus-putus (intermitency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overlow.
Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya adalah skor internsional gejala-gejala prostat WHO (International Prostat Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen (Arief Mansjoer, 2000).
E.     Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena produksi urine terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan vesika meningkat dan dapat dan dapat menimbulkan hidroureter dan gagal ginjal. Karena selalu terdapat urine, dapat berbentuk batu endapan dalam buli-buli keluhan ini dapat menambah iritasi dan menimbulkan hematuria dan dapat menyebabkan sistesis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia dan haemoroid (Arief Mansjoer 2000).
F.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Urine : Volume, warna, berat jenis, pH, osmolalitas, ureum  kreatinin, PSA.
2.      Darah : Hb, pH, BUN kreatinin osmolalitas serum.
3.      Radiologi : TRUS (Trans Rectal Ultra Sound) untuk mengetahui besarnya kelenjar prostat dan menentukan jumlah residual urine. Foto polos abdomen untuk mengetahui adanya batu dalam saluran kemih (Marilynn E. Doengous, 2000).
G.    Penatalaksanaan
Tujuan penanganan medik yaitu memperbaiki aliran urine dari kandung kemih, mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala dan mencegah atau menangani komplikasi akibat BPH.
1.      Terapi Pengobatan
Pemberian hormon dapat mengurangi atau menghambat pertumbuhan jaringan melalui penghambatan hormon androgen. Pengobatan dilakukan secara kontinyu. Efek sampingv dari pengobatan ini adalah disfungsi ereksi, dimana ditemukan 10% dari klien mengalami penurunan libodo. Pengobatan herbal dapat digunakan unruk klien BPH.
2.      Nonsurgical invasive
Pemasangan indwelling cateter secara temporer, dapat digunakan untuk mengurangi gejala. Pemasangan cateter dalam waktu yang lama agar dihindari guna mencegah terjadinya infeksi pemasangan balon dibatasi dalam uretra untuk meringankan uretra sehingga aliran urine menjadi bebas dan lancar. Tindakan pemasangan balon ini merupakan tindakan yang tidak permanen.


3.      Surgical terapi
Tindakan pembedahan dilakukan guna mengatasi adanya obstruksi urine akibat BPH. Bagian dari kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi dilakukan pengangkatan yang disebabkan prostatectomi. Indikasi prostatectomi adalah sebagai berikut :
a.    Bagian atas saluran kemih mengalami dilatasi (Hydroureter, Hydronefrosis) dan adanya gangguan fungsi ginjal.
b.    Nyeri yang hebat
c.    Total urinari obstruction
d.   Pengobatan yang diberikan kurang berespon
e.    Adanya batu kandung kemih, sebagai bukti adanya obstruksi yang lama sehubungan dengan BPH dan adanya infeksi
f.     Obstruksi yang lama dengan adanya hydroureter dan hydronefrosis yang mengganggu fungsi ginjal
g.    Hemeturia yang lama dan hebat
h.    Menurunnya kwalitas hidup sebagai akibat BPH
i.      Retensi urinari yang kronok
j.      Adanya infeksi saluran kemih yang berulang-ulang





BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
1.      Sirkulasi
Tanda    : peningkatan TD (efek pembesaran ginjal)
2.      Eliminasi
Gejala    : penurunan kekuatan/dorongan aliran urine, tetesan keragu-raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan. frekwensi berkemih. Nokturia, disuria, hematuria. Duduk untuk berkemih ISK berulang, riwayat batu (statis urinaria).
Tanda    : Massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih. Hernia ingunalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
3.      Makanan/cairan
Gejala    : Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
4.      Nyeri/keamanan
Gejala    : Nyeri suprapubik panggul atau punggung bawah
5.      Keamanan
Gejala    : Demam
6.      Seksualitas
Gejala    : Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual, penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi.
Tanda    : Pembesaran, nyeri tekan prostat
(Marilynn E. Doengous, 2000).
B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Retensi urine berhubungan dengan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2.      Nyeri (akut) berhubungan dengan distensi kandung kemih.
3.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).
4.      Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
5.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingatv salah interprestasi informasi.
6.      Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan prosedur bedah, pemasangan kateter.
C.    Rencana/Intervensi Keperawatan
1.      Retensi urine berhubungan dengan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengan tidak adanya tetesan/kelebihan cairan.
Intervensi
Rasional
1.      Dorong pasiaen untuk berkemih

2.      Tanyakan pasian tentang inkontinensia stres





3.      Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih


4.      Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung bila diindikasikan.

5.      Awasi tanda vital dengan kuat




6.      Berikan/dorong kateter lain dan perawatan perineal
7.      Berikan obat sesuai indikasi antispasmodik, contoh oksibatinin klorida (ortropan)
1.       Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada kandung kemih
2.       Tekanan uretral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.
3.       Retensi urine meningkat tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4.       Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5.       kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total.
6.       Menurunkan resiko infeksi asenden
7.       Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter.


2.      Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol, mampu untuk tidur/ Istirahat dengan tepat.
Intervansi
Rasional
1.      Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya
2.      Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan)
3.      Pertahankan tirah baring bila diindikasikan

4.      Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung


5.      Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum
6.      Masukkan kateter dan dekatkan untuk kelancaran drainase
7.      Berikan obat sesuai indikasi narkotik, contoh epiredin (demerul)
1.    Memberikan informasi atau menentukan intervensi selanjutnya

2.    Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis scrotal

3.    Tirah baring, mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut

4.    Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
5.    Meningkatkan relaksasi otot


6.    Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar
7.    Diberikan untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan fisik

3.      Kekurangan volume cairan, resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).
Tujuan : mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab.
Intervensi
Rasional
1.      Awasi keluaran dengan hati-hati tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan pengeluaran100-200 ml/jam

2.      Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu.



3.      Awasi TD, nadi dengan sering

4.      Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi

5.      Berikan cairan IV sesuai keburuhan
1.      Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volime total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium di absorbsi dalam tubulus ginjal.
2.      Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi/ hypovolemia
3.      Memampukan deteksi dini/ intervensi hypovolemia sistemik
4.      Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis sirkulasi
5.      Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/memperbaiki hypovolemia
4.      Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan status kesehatan
Tujuan : tampak rileks, mengatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
Intervensi
Rasional
1.      Buat hubungan saling percaya dengan pasien/ orang terdekat
2.      Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi. Contoh kateter, urine berdarah, iritasi kandung kemih

3.      Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur/ menerima pasien, melindungi privasi pasien
4.      Dorong pasien/ orang terdekat untuk mengatakan masalah/ perasaan

5.      Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
1.      Membantu dalam diskusi tentang subjek sensitive
2.      Membantu pasin dalam memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan, termasuk ketakutan akan kanker.
3.      Mengatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien

4.      Mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan dan solusi pemecahan masalah
5.      Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberi informasi.

5.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang mengingat salah satu    interprestasi informasi.
Tujuan : menyatakan proses penyakit/ prognosis, berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi
Rasional
1.      Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien

2.      Dorong menyatakan rasa takut/ perasaan dan perhatian

3.      Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual
4.      Bicarakan masalah seksual selama fase akut, harus dihindari

5.      Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual
1.      Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapy
2.      Membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan rehabilitasi vital
3.      Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan

4.      Selama fase akut, aktivitas seksual dapat meningkatkan nyeri tapai memberikan message pada adanya penyakit kronis
5.      Memiliki informasi tentang anatomi, membantu pasien memahami implikasi tindakan  lanjut, sesuai dengan afek penampilan seksual.

6.      Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan prosedur bedah, pemasangan kateter.
Tujuan : berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi, menunjukan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung  kemih/urinaria
Intervensi
Rasional
1.      Kaji keluaran urine dan sistem kateter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih

2.      Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan frekwensi sering setelah kateter dilepas.
3.      Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih; ketidakmampuan berkemih, urgensi
4.      Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per protokol.



5.      Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik




6.      Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi. Batasi cairan malam, setelah kateter dilepas.


7.      Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengecangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
1.      Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan spasme kandung kemih
2.      Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas




3.      Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waku karena edema uretral dan kehilangan tonus.

4.      Berkemih dengan dorong mencegah retensi urine. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditolenransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang kadung kemih
5.      Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih. Residu lebih dari 50 ml menunjukan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung kemih membaik. 
6.      Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine. “Penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
7.      Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih/sfingter/urine, meminimalkan inkontinensia.





DAFTAR PUSTAKA

Doenges Marylinn E, 2000. Moorhouse Mary Frances, geissler Alice. Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi 3), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Mansjoer, A, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, Media Aesculapius, Jakarta.

Price & Wilson, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Penerbit EGC, Jakarta.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar