BAB
I
KONSEP
MEDIS
A.
Defenisi
Dahulu disebut
juga sebagai hyperplasia prostat jinak (Benigna
Prostate Hyperplasia) Istilah hyperplasia sebenarnya kurang tepat karena
yang terjadi adalah hyperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. Prevalensinya meningkat
sejalan dengan peningkatan usia pada pria (Arief mansjoer, 2000).
Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak
akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya
dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun (Sylvia A. Price, dkk. 1995).
B.
Etiologi
Etiologi belum
jelas namun terdapat factor resiko dan hormone androgen. Perubahan mikroskopis
pada prostat telah terjadi pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopis
berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50
tahun, angka kejadian sekitar 50%, usia 80 tahun sekitar 80% dan 90% tahun 100% (Arief Mansjoer, 2000).
BPH adalah tumor
jinak pada pria yang paling sering ditemukan. Pria berumur lebih dari 50 tahun,
kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor
histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya :
1. Teori
DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5 reduktase
dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori
Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk
merangsang pertumbuhan epitel.
3. Teori
stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel
aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak
pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan
menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori
growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah
pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor
(EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan
ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
C.
Patofisiologi
BPH adalah perbesaran
kronis dari prostat pada usia lanjut yang berkorelasi dengan pertambahan umur.
Perubahan yang terjadi berjalan lambat dan perbesaran ini bersifat lunak dan
tidak memberikan gangguan yang berarti. Tetapi, dalam banyak hal dengan
berbagai faktor pembesaran ini menekan uretra sedemikian rupa sehingga dapat
terjadi sumbatan partial. Pendekatan Farmakologis pada Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH).
Kelenjar
periuretra mengalami hyperplasia pada usia yang secara bertahap bertumbuh dan
menekan pada sekeliling jaringan prostat yang normal yang mendorong kelenjar ke
depan dan membentuk kapsul.
Akibat tekanan
kandung kemih, ureter akan mengalami tekanan dan obstruksi sehingga dapat
menyebabkan hidronefrosis. Akibat, piala ginjal akan mengalami distensi dan jaring
ginjal akan mengalami atropi. Selanjutnya obstruksi yang terjadi bila
berlangsung lama atau mengalami reflux akan menyebabkan terjadinya insufisiensi
renal.
Pembesaran
prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi
perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi
perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher
vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.Sebagai
akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor
ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai
(trabekulasi).
Jika dilihat
dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di
antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil
dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor
adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan
akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi,
sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas (Arief Mansjoer, 2000).
D.
Manifestasi
Klinik
BPH biasanya
terjadi secara perlahan-lahan sehingga dalam perkembangannya kadang-kadang
tidak dirasakan sebagai gangguan, perlu diketahui bahwa pada usia lanjut akan
terjadi peningkatan frekwensi berkemih bila seseorang mengeluh bahwa jumlah
kekuatan aliran urine berkurang, namun nampak aliran melemah dan kadang-kadang
hanya menetes klien akan merasa puas dalam berkemih.
Pada Benigna
prostat hyperplasia (BPH) aliran urine berkurang derasnya, nampak aliran urine
melemah dan kadang-kadang hanya menetes. Klien akan merasa kurang puas dalam
berkemih. Mungkin pula terdapat darah dalam urine. Akibat pembesaran prostat,
akan sangat berbahaya terjadinya obstruksi perkemihan yang komplit dan terjadi
retensi.
Kompleks gejala
obstruktif dan iriatif (prostatisme) mencakup peningkatan frekuensi berkemih,
abdomen tegang, volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih, aliran
urine tidak lancar, rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik.
Biasanya
gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala
iriatif dan obstruktif. Gejala iriatif yaitu sering miksi (frekuensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria). Sedangkan gejala
obstruksi adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi
harus menunggu lama (hesistensy), harus mengedan (straining), kencing
terputus-putus (intermitency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi
retensio urin dan inkontinen karena overlow.
Keluhan ini
biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi
yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya
penyakit, diantaranya adalah skor internsional gejala-gejala prostat WHO
(International Prostat Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen (Arief
Mansjoer, 2000).
E.
Komplikasi
Apabila
buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena produksi urine
terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine
sehingga tekanan vesika meningkat dan dapat dan dapat menimbulkan hidroureter
dan gagal ginjal. Karena selalu terdapat urine, dapat berbentuk batu endapan
dalam buli-buli keluhan ini dapat menambah iritasi dan menimbulkan hematuria
dan dapat menyebabkan sistesis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan
hernia dan haemoroid (Arief Mansjoer 2000).
F.
Pemeriksaan
Penunjang
1.
Urine : Volume, warna, berat jenis, pH,
osmolalitas, ureum kreatinin, PSA.
2.
Darah : Hb, pH, BUN kreatinin osmolalitas
serum.
3.
Radiologi : TRUS (Trans Rectal Ultra
Sound) untuk mengetahui besarnya kelenjar prostat dan menentukan jumlah
residual urine. Foto polos abdomen untuk mengetahui adanya batu dalam saluran
kemih (Marilynn E. Doengous, 2000).
G.
Penatalaksanaan
Tujuan
penanganan medik yaitu memperbaiki aliran urine dari kandung kemih, mengurangi
atau menghilangkan gejala-gejala dan mencegah atau menangani komplikasi akibat
BPH.
1.
Terapi Pengobatan
Pemberian
hormon dapat mengurangi atau menghambat pertumbuhan jaringan melalui
penghambatan hormon androgen. Pengobatan dilakukan secara kontinyu. Efek
sampingv dari pengobatan ini adalah disfungsi ereksi, dimana ditemukan 10% dari
klien mengalami penurunan libodo. Pengobatan herbal dapat digunakan unruk klien
BPH.
2.
Nonsurgical invasive
Pemasangan
indwelling cateter secara temporer, dapat digunakan untuk mengurangi gejala.
Pemasangan cateter dalam waktu yang lama agar dihindari guna mencegah
terjadinya infeksi pemasangan balon dibatasi dalam uretra untuk meringankan
uretra sehingga aliran urine menjadi bebas dan lancar. Tindakan pemasangan
balon ini merupakan tindakan yang tidak permanen.
3.
Surgical terapi
Tindakan
pembedahan dilakukan guna mengatasi adanya obstruksi urine akibat BPH. Bagian
dari kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi dilakukan pengangkatan yang
disebabkan prostatectomi. Indikasi prostatectomi adalah sebagai berikut :
a. Bagian
atas saluran kemih mengalami dilatasi (Hydroureter, Hydronefrosis) dan adanya
gangguan fungsi ginjal.
b. Nyeri
yang hebat
c. Total
urinari obstruction
d. Pengobatan
yang diberikan kurang berespon
e. Adanya
batu kandung kemih, sebagai bukti adanya obstruksi yang lama sehubungan dengan
BPH dan adanya infeksi
f. Obstruksi
yang lama dengan adanya hydroureter dan hydronefrosis yang mengganggu fungsi
ginjal
g. Hemeturia
yang lama dan hebat
h. Menurunnya
kwalitas hidup sebagai akibat BPH
i. Retensi
urinari yang kronok
j. Adanya
infeksi saluran kemih yang berulang-ulang
BAB
II
KONSEP
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1. Sirkulasi
Tanda : peningkatan
TD (efek pembesaran ginjal)
2.
Eliminasi
Gejala : penurunan
kekuatan/dorongan aliran urine, tetesan keragu-raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan
untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan. frekwensi berkemih. Nokturia,
disuria, hematuria. Duduk untuk berkemih ISK berulang, riwayat batu (statis
urinaria).
Tanda
: Massa
padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih.
Hernia ingunalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan
pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
3. Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
4. Nyeri/keamanan
Gejala : Nyeri suprapubik panggul atau punggung bawah
5. Keamanan
Gejala : Demam
6. Seksualitas
Gejala : Masalah
tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual, penurunan kekuatan
kontraksi ejakulasi.
Tanda : Pembesaran,
nyeri tekan prostat
(Marilynn
E. Doengous, 2000).
B.
Diagnosa
Keperawatan
1.
Retensi urine berhubungan dengan
ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2.
Nyeri (akut) berhubungan dengan distensi
kandung kemih.
3.
Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).
4.
Ketakutan/ansietas berhubungan dengan
perubahan status kesehatan.
5.
Kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
terpajan/mengingatv salah interprestasi informasi.
6.
Perubahan pola eliminasi berhubungan
dengan prosedur bedah, pemasangan kateter.
C.
Rencana/Intervensi
Keperawatan
1. Retensi
urine berhubungan dengan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.
Tujuan : Menunjukkan residu pasca berkemih kurang
dari 50 ml, dengan tidak adanya tetesan/kelebihan cairan.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Dorong pasiaen untuk berkemih
2.
Tanyakan pasian tentang inkontinensia stres
3.
Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih
4.
Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam
toleransi jantung bila diindikasikan.
5.
Awasi tanda vital dengan kuat
6.
Berikan/dorong kateter lain dan perawatan perineal
7.
Berikan obat sesuai indikasi antispasmodik, contoh
oksibatinin klorida (ortropan)
|
1.
Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan
pada kandung kemih
2.
Tekanan uretral tinggi menghambat pengosongan
kandung kemih atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal
meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.
3.
Retensi urine meningkat tekanan dalam saluran
perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4.
Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi
ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5.
kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan
eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan
ginjal total.
6.
Menurunkan resiko infeksi asenden
7.
Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan
dengan iritasi oleh kateter.
|
2. Nyeri
berhubungan dengan distensi kandung kemih
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol, mampu
untuk tidur/ Istirahat dengan tepat.
Intervansi
|
Rasional
|
1.
Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala
0-10), lamanya
2.
Plester selang drainase pada paha dan kateter pada
abdomen (bila traksi tidak diperlukan)
3.
Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
4.
Berikan tindakan kenyamanan, contoh
pijatan punggung
5.
Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangat
untuk perineum
6.
Masukkan kateter dan dekatkan untuk kelancaran
drainase
7.
Berikan obat sesuai indikasi narkotik, contoh
epiredin (demerul)
|
1.
Memberikan informasi atau menentukan intervensi
selanjutnya
2.
Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi
pertemuan penis scrotal
3.
Tirah baring, mungkin diperlukan pada awal selama
fase retensi akut
4.
Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali
perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
5.
Meningkatkan relaksasi otot
6.
Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan
kepekaan kelenjar
7.
Diberikan untuk menghilangkan nyeri berat,
memberikan relaksasi mental dan fisik
|
3. Kekurangan
volume cairan, resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidakseimbangan
elektrolit (disfungsi ginjal).
Tujuan : mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan
oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan
membran mukosa lembab.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Awasi keluaran dengan hati-hati tiap jam bila
diindikasikan. Perhatikan pengeluaran100-200 ml/jam
2.
Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan
kebutuhan individu.
3.
Awasi TD, nadi dengan sering
4.
Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi
5.
Berikan cairan IV sesuai keburuhan
|
1.
Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volime
total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium di absorbsi dalam tubulus
ginjal.
2.
Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya
mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan
resiko dehidrasi/ hypovolemia
3.
Memampukan deteksi dini/ intervensi hypovolemia
sistemik
4.
Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis
sirkulasi
5.
Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk
mencegah/memperbaiki hypovolemia
|
4. Ketakutan/
ansietas berhubungan dengan status kesehatan
Tujuan : tampak rileks, mengatakan pengetahuan yang
akurat tentang situasi.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Buat hubungan saling percaya dengan pasien/ orang
terdekat
2.
Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus
dan apa yang akan terjadi. Contoh kateter, urine berdarah, iritasi kandung
kemih
3.
Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan
prosedur/ menerima pasien, melindungi privasi pasien
4.
Dorong pasien/ orang terdekat untuk mengatakan
masalah/ perasaan
5.
Beri penguatan informasi pasien yang telah
diberikan sebelumnya.
|
1.
Membantu dalam diskusi tentang subjek sensitive
2.
Membantu pasin dalam memahami tujuan dari apa yang
dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan, termasuk ketakutan
akan kanker.
3.
Mengatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu
pasien
4.
Mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan
untuk menjawab pertanyaan dan solusi pemecahan masalah
5.
Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberi informasi.
|
5. Kurang
pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang mengingat salah satu interprestasi informasi.
Tujuan : menyatakan proses penyakit/ prognosis, berpartisipasi
dalam program pengobatan.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
2.
Dorong menyatakan rasa takut/ perasaan dan
perhatian
3.
Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan
secara seksual
4.
Bicarakan masalah seksual selama fase akut, harus
dihindari
5.
Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual
|
1.
Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat
membuat pilihan informasi terapy
2.
Membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan
rehabilitasi vital
3.
Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan
4.
Selama fase akut, aktivitas seksual dapat
meningkatkan nyeri tapai memberikan message pada adanya penyakit kronis
5.
Memiliki informasi tentang anatomi, membantu
pasien memahami implikasi tindakan
lanjut, sesuai dengan afek penampilan seksual.
|
6. Perubahan
pola eliminasi urine berhubungan dengan prosedur bedah, pemasangan kateter.
Tujuan : berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi,
menunjukan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemih/urinaria
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji keluaran urine dan sistem kateter/drainase,
khususnya selama irigasi kandung kemih
2.
Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih,
contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan frekwensi sering setelah
kateter dilepas.
3.
Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran
aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih;
ketidakmampuan berkemih, urgensi
4.
Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan
tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per protokol.
5.
Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik
6.
Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.
Batasi cairan malam, setelah kateter dilepas.
7.
Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh
mengecangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
|
1.
Retensi dapat terjadi karena edema area bedah,
bekuan darah, dan spasme kandung kemih
2.
Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa
normalitas
3.
Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah,
tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waku karena
edema uretral dan kehilangan tonus.
4.
Berkemih dengan dorong mencegah retensi urine.
Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditolenransi) meningkatkan tonus
kandung kemih dan membantu latihan ulang kadung kemih
5.
Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih.
Residu lebih dari 50 ml menunjukan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus
kandung kemih membaik.
6.
Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal
untuk aliran urine. “Penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan
tidur selama malam hari.
7.
Membantu meningkatkan kontrol kandung
kemih/sfingter/urine, meminimalkan inkontinensia.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Doenges
Marylinn E, 2000. Moorhouse Mary Frances, geissler Alice. Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi 3), Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Mansjoer, A, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, Media
Aesculapius, Jakarta.
Price &
Wilson, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Penerbit EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar