BAB
I
KONSEP
MEDIS
A.
Defenisi
Stroke merupakan
penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota
gerak,gangguan bicara, proses berfikir, daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan
yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Arif Muttaqin, 2008).
Stroke
adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di
otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan
seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008).
B.
Etiologi
1. Trombosis
Arterioklerosis
serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis
serebral dan merupakan penyebab terbanyak terjadinya CVD. Adanya sumbatan atau
oklusi akan menghambat aliran darah ke bagian distal, terjadi hipoperfusi, hipoksia,
terganggunya nutrisi selular dan akhirnya menimbulkan infark.
Tanda-tanda
trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala, pusing, perubahan kognitif, atau
kejang, dan ada beberapa awitan yang
tidak dapat di bedakan dengan hemiragi intraserebral atau embolisme. Ada
beberapa gejala awal yang mendahului seperti kehilangan bicara, hemiplegi,
parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada
beberapa jam atau hari.
2. Emboli
Emboli
dapat berupa jendalan darah, kristal kolesterol, deposit, metastase, embolus
septik, embolus traumatik(karena trauma), atau karena gelembung nitrogen.
Karakteristik
emboli serebral adalah awitan hemiparesis atau hemiplegia tiba-tiba dengan atau
tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau
paru. Emboli dapat terjadi pada saat istirahat maupun aktivitas.
3. Iskemia
Insufisiensi
suplai darah ke otak, terutama karena konstriksi ateroma pada arteri yang
mensuplai darah ke otak. manifestasi paling umum adalah serangan iskemik sementara.
4. Hemoragi
serebral
Dapat
terjadi karena trauma atau hipertensi, penyebab tersering adalah kebocoran
anurisma pada area sirkulasi willisi dan malformasi arteri-vena kengenental. Gejala-gejala
pada umumnya mendadak, peningkatan tekanan intrakranial, perubahan tingkat
kesadaran, sakit kepala, vertigo, kacau mental, hemiparesis, mual-muntah,
fotofobia, penglihatan ganda kegelisahan dan peningkatan suhu tubuh (Rosjidi
dan Saiful Nurhidayat, 2009).
C.
Patofisiologi
Infark serebri
adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark
bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah
yang tersumbat.
Suplai darah ke
otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus,
emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia
karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering kali merupakan faktor
penting untuk otak, trombus dapat berasal dari plak arterosklerosis, atau darah
dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah akan lambat atau
terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah dan terbawa
sebagai amboli dalam aliran darah.
Trombus
mengakibatkan :
1. Iskemia
jaringan otak pada area yang di suplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan.
2. Edema
dan kongesti di sekitar area.
Perdarahan pada otak lebih di
sebabkan oleh ruptur arteosklerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan
intraserebri yang sangat luas akan menyebabkan kematian di bandingkan dari
keseluruhan penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi
destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat
dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.
Jika sirkulasi serebri terhambat,
dapat berkembang anoksia serebri. Perubahan di sebabkan oleh anoksia serebri
dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila
anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebri dapat terjadi oleh karena gangguan
yang bervariasi salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak,
akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peningkatan
tekanan tekanan intracranial dan menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak (Arif
Muttaqin, 2008).
D.
Manifestasi
Klinik
Pada stroke non
hemoragik (iskemik), gejala utamanya adalah timbulnya defisit neurologis secara
mendadak/subakut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau
bangun pagi dan kesadaran biasanya tak menurun, kecuali bila embolus cukup
besar. Biasanya terjadi pada usia > 50 tahun.
Gejala
neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah
dan lokasinya. Manifestasi klinis stroke akut dapat berupa (Rosjidi dan Saiful
Nurhidayat, 2009).
1. Hipertensi
2. Penyakit
kardiovaskuler
3. Kolesterol
tinggi
4. Obesitas
5. Peningkatan
hematokrit
6. Diabetes
mellitus
7. Merokok
8. Penyalahgunaan
obat (khususnya kokain)
9. Konsumsi
alkohol
E.
Komplikasi
1. Hidrosepalus
2. Disritmia
3. Afasia
4. Hemiparese/paraparese
F.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Angiografi serebral : Membantu menentukan
penyebab stroke secara spesifik, seperti perdarahan, atau obstruksi arteri,
adanya titik oklusi atau ruptur.
2. CT Scan : Memperlihatkan adanya edema,
hematoma, iskemia dan adanya infark.
3. fungsi lumbal : Menunjukkan adanya tekanan
normal dan biasanya ada trombosis, emboli serebral, dan TIA.
4. MRI : Menunjukkan daerah yang mengalami
infark, hemoragik, malformasi arteriovena (MAV).
5. Ultrasonografi doppler : Mengidentifikasi
penyakit arteriovena.
6. EEG : Mengidentifikasi masalah didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7. Sinar X tengkorak : Menggambarkan perubahan
kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas (Batticaca,
2008).
G.
Penatalaksanaan
Untuk mengobati
keadaan akut perlunya di perhatikan faktor-faktor krisis sebagai berikut (Arif
Muttaqin, 2008).
1. Berusaha
menstabilkan tanda-tanda vital dengan :
a. Mempertahnkan
saluran nafas yang paten, yaitu sering melakukann pengisapan lendir,
oksigenasi, kalu perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b. Mengontrol
tekana darah berdasarkan kondisi klien, termasuk usaha memperbaiki hipotensi
dan hipertensi.
2. Berusaha
menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3. Merawat
kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
4. Menempatkan
klien dalam posisi yang tepat, harus di lakukan secepat mungkin. Posisi klien
harus di ubah tiap 2 jam dan melakukan latihan-latihan gerak pasif.
BAB
II
KONSEP
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
Menurut Marilynn E. Doeges 2000, pengkajian
keperawatan pada stroke dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Aktivitas
Gejala : Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis, merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat.
Tanda : Gangguan tonus otot, gangguan penglihatan dan gangguan tingkat
kesadaran.
2. Sirkulasi
Gejala : Adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural.
Tanda : Hipertensi arterial, frekuensi nadi bervariasi, disritmia,
perubahan EKG, desiran pada karotis.
3. Integritas Ego
Gejala : Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa.
Tanda : Emosi yang labil, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih, distensi abdomen, bising usus negatif.
5. Makanan dan cairan
Gejala : Nafsu makan hilang, mual muntah, kehilangan sensasi, adanya
riwayat diabetes, peningkatan lemak darah.
Tanda : Kesulitan menelan, obesitas.
6. Neurosensori
Gejala : Sinkope/pusing, sakit kepala, kelemahan, penglihatan menurun,
hilang rangsang sensorik kontralateral, gangguan rasa pengecapan.
Tanda : Perubahan status mental, paralisis atau parese wajah, afasia,
kehilangan kemampuan untuk mengenali/ menghayati masuknya rangsang visual,
kehilangan kemampuan menggunakan motorik, ukuran/reaksi pupil tidak sama,
kekakuan, kejang.
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda.
Tanda : Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada
otot/fasia.
8. Pernafasan
Gejala : Merokok (faktor resiko)
Tanda : Ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan napas, timbulnya
pernapasan sulit, suara napas terdengar / ronki.
9. Keamanan
Tanda : Motorik/sensorik : Masalah dengan penglihatan, perubahan persepsi
terhadap orientasi tubuh, tidak mampu mengenali objek, gangguan berespon,
kesulitan dalam menelan, gangguan dalam memutuskan.
Angioma
jaring-jaring, eritema palmar, ginekomastia.
10. Interaksi sosial
Gejala : Masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
11. Penyuluhan/pembelajaran.
Gejala : Adanya riwayat
hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian kontrasepsi oral, kecanduan
alkohol.
B.
Diagnosa
Keperawatan
Diagnnosa
keperawatan menurut teori (Doenges Marilynn E, 2000) pada stroke adalah sebagai
berikut :
1. Perubahan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah; gangguan
oklusif, hemoragi; vasospasme serebral, edema serebral.
2. Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler; kelemahan,
parestesia; flaksid/paralisis hipotonik (awal); paralisis spastis.
3. Komunikasi
verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral; kerusakan
neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral; kelemahan/kelelahan
umum.
4. Perubahan
persepsi sensori, transmisi integrasi (trauma neurologis atau defisit).
5. Kurang
perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan
dan ketahanan, kehilangan kontrol/koordinasi otot.
6. Gangguan
harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perseptual
kognitif.
7. Risiko
tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler/perseptual.
8. Kurang
pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi.
C.
Rencana/Intervensi
Keperawatan
1.
Perubahan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan interupsi aliran darah; gangguan oklusif, hemoragi;
vasospasme serebral, edema serebral.
Tujuan :
mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif, dan
motorik/sensorik.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan
keadaan penyakit/penyebab khusus selama koma.
2.
Pantau/catat status neurologis sesering mingkin
dan bandingkandengan keadaan normalnya
3.
Pantau tanda-tanda vital
4.
Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan,
dan reaksinya terhadap cahaya.
5.
Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya
kebutaan, gangguan lapang pandang/kedalaman persepsi.
6.
Kaji fungsi-fungsiyang lebih tinggi, seperti
fungsi bicara jika pasien sadar.
7.
Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan
dalam posisis anatomis (netral).
8.
Pertahankan keadaan tirah baring , ciptakan
lingkungan yang tenang,batasi pengungjung/aktivitas kklien sesuai indikasi.
9.
Cegah terjdinya mengejan saat defekasi dan
pernapasn yang memaksa.
10.
Meningkat, peka rangsang dan serangan kejang.
11.
Berikan oksigen sesuai indikasi.
12.
Berikan obat sesuai indikasi, antikogulasi,
antihipertensi.
|
1.
Mempengaruhi penetapan intervensi.
Kerusakan/kemunduran tanda dan gejala neurologis atau kegagalan
memeperbaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan dank lien
harus dipindahkan ke ruangan kritis (ICU).
2.
Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan TIK dan mengetahui lokasi, luas,dan kemajuan/resolusi
kerusakan SSP yang merupakan tanda terjadi thrombosis CVS baru.
3.
Variasi mungkin terjadi oleh karena tekanan/
trauma serebral pada daerah vasomotor otak.
4.
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
okulomotorik dan berguna dalam menentukan apakah batang otak tersebut masih
baik.
5.
Gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan
daerah otak yang terkena, mengindikasikan keamanan yang harus mendapat
perhatiaan dan mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.
6.
Perubahan dalam isis kognitif dan bicara merupakan
indicator dari lokasi/derajat gangguan serebral dan mungkin mengindikasikan
penurunan/penekanan TIK.
7.
Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan
drainase dan meningkatkan sirkulasi/perfusi serebral.
8.
Aktivitas/stimulasi yang kontinu dapat
meningkatkan TIK.Istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk
pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik/perdarahan
lainnya.
9.
Manuver valsava dapat meningkatkan TIK dan
memperbesar resiko terjadinya perdarahan.
10.
Merupakan indikasi adanya iritasi meningeal,
kejang dapat mencerminkan adanya peningkatan TIK/Trauma serebral yang
memerlukan perhatian dan intervensi selanjutnya.
11.
Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan
vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat/terbentuknya edema.
12.
Dapat digunakan untuk meningkatkan/memperbaiki
aliran darah serebral dan selanjutnya dapat mencengah pembentukan saat
embolus/thrombus merupakan faktor masalahnya.
|
2.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan keterlibatan neuromuskuler; kelemahan, parestesia; flaksid/paralisis
hipotonik (awal); paralisis spastis.
Tujuan :
mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh kontraktur,
footdrop.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan
awal dan dengan cara yang teratur. Klasifikasikan melalui skala 0 – 4.
2.
Ubah posisi minimal setiap 2 jam (terlentang,Smiring),dan
sebagainya dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam
posisi bagian yang terganggu.
3.
Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan
pasif pada semua ekstremitas saat masuk.
4.
gunakan penyangga lengan ketika pasien berada
dalam posisi tegak sesuai indikasi
5.
Evaluasi penggunaan dari kebutuhan alat bantu
untuk pengaturan posisi dan/atau pembalut selama periode paralisis spastik.
6.
Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan
abduksi pada tangan.
7.
Tinggikan tangan dan kepala.
8.
Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.
9.
Gunakan papan kaki secara berganti, jika
memungkinkan.
|
1.
Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
2.
Menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia
jaringan. Daerah yang terkena mengalami perburukan/ sirkulasi yang lebih
jelek dan menurunkan sensasi dan lebih besar menimbulkan kerusakan pada
kulit/dekubitus.
3.
Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontraktur.
4.
Selama paralisis flaksid, pengguanaan penyangga
dapat menurunkan resiko terjadinya subloksosio lengan dan sindrom bahu-lengan.
5.
Kontraktur fleksi dapat terjadi akibat dari otot
fleksor lebih kuat dibandingkan dengan otot ekstensor.
6.
Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.
7.
Meningkatkan aliran balik vena dan membantu
mencegah terbentuknya edema.
8.
Mempertahankan posisi fungsional.
9.
Penggunaan yang kontinu dapat menyebabkan tekanan
yang berlebihan pada sendi peluru kaki, meningkatkan spastisitas, dan secara
nyata meningkatkan fleksi plantar.
|
3.
Komunikasi verbal berhubungan dengan
kerusakan sirkulasi serebral; kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol
otot fasial/oral; kelemahan/kelelahan umum.
Tujuan : dapat
mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti klien tampak
memahami kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian
sendiri.
2.
Bedakan antara afasis dengan disatria.
3.
Pertahankan
kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
4.
Mintalah pasien untuk mengikuti perintah
sederhana.
5.
Tunjukan objek dan minta pasien untuk menyebutkan
nama benda tersebut.
6.
Mintalah pasien untuk mengucapakan suara sederhana
seperti sh atau pus.
7.
Minta klien untuk menulis nama atau kalimat yang
pendek.jika tidak dapat menulis,mintalah klien untuk membaca kalimat yg pendek.
8.
Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat
dan ruangan klien tentang adanya ganguan bicara.
9.
Berikan metode komunikasi alterntif,seperti
menulis di papan tulis,gambar.
|
1.
Membantu memnentukan daerah dan derajat kerusakan
serebral yang terjadi dan kesulitan klien dalam beberapa atauseluruh tahap
proses komunikasi.
2.
Intervensi yang di pilih tergantung pada tipe
kerusakannya. Afasis adalah gangguan dalam menggunakan dan menginterpeksikan
simbol-simbol bahasa dan mungkin melibatkan komponen sensorik
dan/ataumotorik.disatri dapat memahami membaca dan menulis bahasa tetapi
mengalami kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan kelemahan
dan paralisis dari otot-otot daerah oral.
3.
Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau
ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang di ucapkan tidak
nyata.
4.
Melakukan penilain terhadap adanya kerusakan sensorik.
5.
Melakukan penilaian terhadap adanya
kerusakanmotorik ( afasia motorik ), seperti pasien mungkin mengenalinya
tetapi tidak dapat menyebutkannya.
6.
Mengindentifikasikan adanya disatria sesuai
komponen motorik dari bicara yang dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin
juga tidak disertai afasia motorik.
7.
Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan
dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia
sensorik dan afasia metorik.
8.
Menghilangkan ansietas klien sehubungan dengan
ketidaknyamanan untuk berkomunikasi dan perasaan takut bahwa kebutuhan klien
tidak akan terpenuhi dengan segera.
9.
Memberikan komunikasi tentang kebutuhan
berdasarkan keadaan/defisi yang mendasarinya.
|
4.
Perubahan persepsi sensori, transmisi
integrasi (trauma neurologis atau defisit).
Tujuan : dapat mempertahankan
tingkat kesadaran dan fungsi perceptual.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Lihat kembali proses patologis kondisi individual.
2.
Evaluasi adanya gangguan penglihatan
3.
Dekatik klien dari daerah penglihatan yang normal.
4.
Ciptakan lingkungan yang sederhana,pindahkan
perabot yang membahayakan.
5.
Kaji kesadaran sensorik, seperti membedahkan
panas/dingin, tajam/rumpul, posisi bagian tubuh/otot, rasa persendihan.
6.
Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan,seperti
berikan klien suatu benda untuk menyentuh,meraba.
7.
Lindungi klien dari suhu yang berlabihan.
8.
Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian
tubuh,segmen lingkungan.
9.
Anjurkan klien untuk mengemai kakinya bila perlu
dan menyadari posisi bagian tubuh tertentu.
10.
Observasi respon peilaku klien seperti rasa
bermusuhan,dan menagis,efek tidak sesuai,agitasi,halusinasi.
|
1.
Kesadaran akan tipe/daerah yang terkenal membantu
dalam mengkaji/mengantisipasi defisit,spesifik dan perawatan.
2.
Munculnya gangguan penglihatan dapat berdamapak
negative terhadap kemampuan klien untuk menerima lingkungan dan mempelajari
kembali keterampilan motorik dan meningkatkan resiko terjadinya cedera.
3.
Pemberian pengenalan terhadap adanya orang/benda
dapat membantu masalah persebsi
mencegah pasien dari terkejut.
4.
Menurunkan/membatasi jumlah stimulasi pengelihatan
yang mungkin dapat menimbulkan kebingungan terhadap interpretasi
lingkungan,menurunkan resiko terjadinya kecelakaan.
5.
Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan
kerusakan perasaan kinetic berpengaruh buruk terhadap keseimbangan/posisi
tubuh dan kesusaian diri gerakan yang mengganggu ambulasi,meningkatkan resiko
terjadinya trauma.
6.
Membantu melatih kembali secara sensorik untuk
mengentakrasikan persepsi dan interpretasi setimulasi membantu klien untuk
mengorientakisan bagian dirinya dan kekuatan penggunaan dari daerah yang
terpengaruh.
7.
Meningkatkan kawanan klien yg menurunkan resiko
terjadinya teroma.
8.
Adanya agnosia (kehilangan pemahanan terhadap
pendengaran.penglihatan,atau sensasi yang lain).
9.
Penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan
membantu dalam mengintegrasikan kembali sisi yang sakit dan memungkinkan
pasien untuk mengalami kelalaian sensasi dari pola gerakan normal.
10.
Respon individu dapat bervariasi tetapi umumnya
yang terlihat seperti emosi labil, ambang frustasi rendah, apatis, perilaku
impulsif.
|
5.
Kurang perawatan diri berhubungan dengan
kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan
kontrol/koordinasi otot.
Tujuan : dapat
melakukan aktivitas perawatan diri dalam kemampuan sendiri.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji kemempuan dan tingkat kekurangan (dengan
mengunakan skala 0-4) untuk melakukan kebutuhan sehari-hari.
2.
Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat
dilakukan pasien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
3.
Pertahankan dukungan, sikap yang tegas. Beri
pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya.
4.
Buat rencana terhadap gangguan penglihatan yang
ada.
5.
Gunakan alat bantu pribadi, seperti kombinasi
pisau bercabang, sikat tangkai panjang.
6.
Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang
kebutuhannya untuk kebutuhannya untuk menghindari dan/atau kemampuan untuk
menggunakan urinal,bedpan.
7.
Indentifikasi kebiasaan defekasi sebelumnya dan
kembalikan pada kebiasaan pola normal tersebut. Kadar makanan yang berserat,
anjurkan untuk minum banyak dan tingkatkan aktivitas.
8.
Berikan obat supositoria dan pelunak faeces.
|
1.
Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan
pemenuhan kebutuhan secara individual.
2.
Pasien ini mungkin menjadi sangat ketakutan dan
sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam
mencegah frustrasi, adalah penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak
mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan
pemulihan.
3.
Pasien akan memerlukan empati tetapi perlu untuk
mengetahui pemberian asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten.
4.
Pasien akan dapat melihat untuk memakan
makanannya.
5.
Pasien dapat menangani diri sendiri, meningkatkan
kemandirian dan harga diri.
6.
Mungkin mengalami gangguan saraf kandung kemih,
tidak dapat mengatakan kebutuhannya pada fase pemulihan akut, tetapi biasanya
dapat mengontrol kembali fungsi ini sesuai perkembangan proses penyembuhan..
7.
Mengkaji perkembangan program latihan (mandiri)
dan membantu dalam pencegahan konstipasi dan sembelit (pengaruh jangka
panjang).
8.
Mungkin dibutuhkan pada awal untuk membantu
menciptakan/ merangsang fungsi defekasi teratur.
|
6.
Gangguan harga diri berhubungan dengan
perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.
Tujuan : dapat berkomunikasi
dengan orang dekat tentang situasi dan perubahan yang terjadi.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan
dengan derajat ketidakmampuannya.
2.
Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaanya
termasuk rasa bermusuhan dan perasaan marah.
3.
Catat apakah pasien menu njuk daerah yang sakit
ataukah pasien mengikari daerah tersebut dan mengatakan hal tersebut”telah
mati”.
4.
Akui pernyataan perasaan tentang pengingkaran
terhadap tubuh/tetap pada kenyataan yang ada tentang realitan bahwa pasien
masih dapat menggunakn bagian tubuhnya dan tidak sakit dan belajar untuk
mengontrol bagian tubuh yang sakit.
5.
Tekankan keberhasilan yang kecil sekali pun baik
mengenai penyembuhan fungsi tubuh ataupun kemandirian pasien.
6.
Bantu dan dorong kebiasaan berpakain dan berdandan
yang baik.
7.
Dorong orang terdekat agar memberi kesempatan pada
pasien melakukan sebayak mungkin untuk dirimya sendiri.
8.
Berikan dukungan terhadap prilaku/usah seperti
peningkatan minat/ partisipasi pasien dalam kegitan rehabilitasi.
9.
Berikan penguatan terhadap pengguanaan alat-alat
adaptif,seperti tongkat untuk berjalan,kencing/risluiting,saku dipaha untuk
kateter.
10.
Pantau gangguan tidur, meningkatkan kesulitan
untuk berkosentrasi, pernyataan ketidakmampuan untuk mengatasi
sesuatu,latergi,dan menarik diri.
11.
Rujuk pada evaluasi neuropsikologis dan/atau
konselingsesui kebutuhan.
|
1.
Penentuan faktor-faktor secara individu membantu
dalam mengembangkan perencanaan asuhan / pilihan intervensi.
2.
Mendemonstrasikan penerimaan/membantu pasien untuk
mengenal dan mulai memahami perasaan ini.
3.
Menunjukkan penolakan terhadap bagian tubuh
tertentu perasaan negatif terhadap citra tubuh dan kemampuan, menandakan
perlunya intervensi dan dukungan emosional.
4.
Membantu pasien untuk melihat bahwa perawat
menerima kedua bagian tubuh tersebut merupakan suatu bagian yang utuh dari
seseorang.
5.
Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu
menurunkan perasaan marah dan ketidak berdayaan dan menimbulkan perasaan
adanya perkembangan.
6.
Membantu peningkatan rasa harga diri dan kontrol
atas salah satu bagian kehidupan.
7.
Membangun kembali rasa kemandirian dan menerima
kebanggaan diri dan meningkatkan proses rehabilitasi.
8.
Mengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah
dan memahami tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya
9.
Meningkatkan kemandirian, menurunkan
keter-gantungan terhadap orang lain untuk memenuhi kebutuhan fisik dan pasien
dapat bersosialisasi lebih aktif lagi.
10.
Mungkin merupakan indikasi serangan depresi
(umumnya setelah adanya pengaruh stroke) yang mungkin memerlukan evaluasi dan
intervensi selanjutnya.
11.
Dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran
yang perlu untuk perasaan.
|
7.
Risiko tinggi terhadap kerusakan menelan
berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler/perseptual.
Tujuan : dapat
menelan dengan baik
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Tinjau ulang patologi/ kemampuan menelan pasien
secara individual.
2.
Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses
menelan yang efektif.
3.
Letakkan pasien pada posisi duduk / tegak selama
dan setelah makan.
4.
Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut
secara manual dengan menekan ringan di atas bibir/di bawah dagu jika
dibutuhkan.
5.
Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak
terganggu.
6.
Pertahankan masukan dan haluaran dengan akurat,
catat jumlah kalori yang masuk.
7.
Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program
latiahan / kegiatan.
8.
Berikan cairan melalui IV dan / atau makanan
melalui selang.
|
1.
Intervensi nutrisi / pilihan rute makan ditentukan
oleh faktor-faktor ini.
2.
Menetralkan hiperekstensi, membantu mencegah
aspirasi dan meningkatkan kemampuan untuk menelan.
3.
Menggunakan gravitasi untuk memudahkan proses
menelan dan menurunkan risiko terjadinya aspirasi.
4.
Membantu dalam melatih kembali sensori dan
meningkatkan kontrol muskuler.
5.
Memberikan stimulasi sensori (termasuk rasa kecap)
yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan.
6.
Jika usaha menelan tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan cairan dan makanan harus dicarikan metode alternatif untuk makan.
7.
Dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak
yang meningkatkan perasaan senang dan meningkatkan nafsu makan.
8.
Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan
pengganti dan juga makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukkan segala
sesuatu melalui mulut.
|
8.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan : dapat
memahami tentang kondisi dan pengobatannya.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Evaluasi tipe/derajat dari gangguan persepsi
sensori.
2.
Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan
kekuatan pada individu.
3.
Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan
perawatan.
4.
Berikan instruksi dan jadwal tertulis mengenai
aktivitas, pengobatan dan faktor-faktor penting lainnya.
5.
Sarankan pasien menurunkan /membatasi stimulasi
lingkungan selama kegiatan belajar.
6.
Indentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan
control secara medis.
7.
Indentifikasi sumber-sumber yang ada di
masyarakat.
8.
Rujuk/tegaskan perlumya evaluasi dengan tim ahli
rehabilitasi.
|
1.
Defisit mempengarudanhi pilihan metode pengajaran
dan isi/kompleksitas instruksi.
2.
Membantu dalam membangun harapan yang realistis
dan meningkatkan pemahaman terhadap keadaan dan kebutuhan saat ini.
3.
Berbagai tingkat bantuan mungkin diperlukan/perlu
direncanakan berdasarkan pada kebutuhan secara individual.
4.
Memberikan penguatan visual dan sumber rujukan
setelah sembuh.
5.
Stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan
proses berpikir.
6.
Evaluasi dan intervensi dengan cepat menurunkan
risiko terjadinya komplikasi/kehilangan fungsi yang berlanjut.
7.
Meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan
penanganan di rumah dan penyesuaian terhadap kerusakan.
8.
Kerja yang baik pada akhirnya diharapkan/
meminimalkan adanya gejala sisa atau penurunan neurologis.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Batticaca,
F.B, 2008.
Asuhan Keperawatan Klien dengan Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika.
Doenges, M.E, Moorhouse, M.F, Geissler, A.C, 2000.
Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Rosjidi, C.H
dan Nurhidayat, S, 2009. Buku Ajar Perawatan
Cedera Kepala & Stroke, Yokyakarta : Ardana Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar